Blogger Widgets Spirit Ramadhan Indonesia: Januari 2013

Berbagi Petunjuk Menuju Jalan Kemenangan


Sebuah Thermometer Keimanan

Sahabat Muslim,
Kadar keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang bagaikan thermometer. Setiap pribadi Muslim pada umumnya merasakan kadar keimanannya meningkat pada bulan Ramadhan. Mereka juga merasakan mudahnya melaksanakan berbagai tindakan kebajikan di bulan suci.

Bahkan tidak jarang di antara mereka yang menggunakan momentum Ramadhan untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya karena berbagai rangsangan yang memudahkan terlaksananya amal kebaikan. 

Namun, tidak tidak setiap pribadi Muslim menyadari penyebab yang memudahkan terlaksananya berbagai kebaikan di bulan Ramadhan. Padahal jika direnungkan, peningkatan kadar keimanan di bulan itu dapat dilakukan melalui perenungan dan evaluasi sederhana sesuai dengan kapasitas akalnya. 

Iman kata para ulama bagaikan pohon, ia akan tumbuh subur dengan disirami air dan ditaburi pupuk. Selanjutnya, ia akan berbuah sesuai dengan input yang diterimanya. Demikian pula dengan keimanan, ia akan tumbuh dengan menu utamanya amal saleh dan minumannya menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. 

Dalam kaitan tersebut Sayyidina Ali RA berkata, "Iman bagaikan satu nuktah (titik) putih. Jika seseorang berbuat kebajikan, maka kadar keimanannya akan tumbuh dan memutihkan seluruh hati. Sedangkan nifak bagaikan satu nuktah (titik) hitam. Jika seseorang berbuat keburukan, maka kadar keimanannya akan berkurang sehingga menghitamkan seluruh hati."

Di dalam Alquran dan As-sunnah terdapat berbagai penjelasan yang menegaskan bertambahnya kadar keimanan dengan sebab perbuatan baik dan berkurangnya kadar keimanan dengan perbuatan buruk.


Di antara penjelasan itu, Allah SWT berfirman, "Sungguh orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila nama Allah disebut maka hati mereka bergetar dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka keimanan mereka bertambah." (QS. Al-Anfaal: 2).


Sedangkan di dalam As-Sunnah juga terdapat penjelasan serupa, di antaranya sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangan (kekuasaan)nya. Jika tidak mampu, maka hendaklah merubahnya dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah iman yang paling lemah." (HR. Muslim).

Nilai Segelas Air

Sahabat Muslim, 
Suatu ketika, Khalifah Harun Al-Rasyid sedang merasakan kegelisahan. Untuk menenangkan diri dari beban pikirannya, ia mengundang seorang ulama terkemuka pada masanya, Abu As-Sammak. “Nasihatilah aku!” pinta Khalifah.

Di saat yang sama, pelayan membawa segelas air untuk Khalifah. Sebelum minum, Abu As-Sammak berkata, “Tunggu sebentar. Seandainya dalam keadaan sangat haus, sedangkan segelas air ini tidak kau peroleh, berapakah harga yang kau siap bayar? Jawablah dengan jujur!”

“Setengah dari kekayaanku,” jawab Khalifah

.
Sang ulama pun mempersilakan khalifah minum. Selesai minum, Abu As-Sammak bertanya lagi, “Seandainya air tadi mendesak untuk dikeluarkan, tapi kau tak mampu mengeluarkannya, berapakah yang akan engkau bayarkan agar ia keluar?”


Khalifah menjawab, “Setengah dari kekayaanku.”


“Kalau demikian, sadarilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan yang ada di sisimu, nilainya hanya segelas air. Tidak wajar diperebutkan dan dipertahankan tanpa hak. Ketahuilah, betapa banyak nikmat Allah selain segelas air itu yang telah engkau nikmati sehingga tidak wajar jika engkau tidak mensyukurinya,” nasihat Abu As-Sammak kepada Harun Al-Rasyid.


Dialog singkat di atas memberikan pelajaran berharga. Pertama, hendaklah para penguasa negeri (umara) dalam seluruh tingkat untuk senantiasa meminta dan mendengar nasihat para ulama. Selagi para umara masih mendengar nasihat ulama, negeri ini akan selamat dari murka Allah.

Kedua, nilai segelas air. Air sangat berharga dalam kehidupan manusia. Manusia akan mati jika kekurangan cairan (dehidrasi). Air adalah awal dan sumber kehidupan alam semesta. Allah turunkan air yang tidak asin dengan kadar tertentu agar mendatangkan kebaikan kepada manusia dan alam semesta. (QS Al-Waqi’ah [56]: 68-70).


Bumi yang kering akan kembali subur, binatang yang kehausan dan kepanasan akan tersenyum dengan air, dan tanam-tanaman akan tumbuh dengan subur serta rezeki akan melimpah tumbuh dari perut bumi. (QS [2]: 22, [7]: 57,dan [14]: 32).


Kapan makan dan minum yang paling nikmat? Yakni, ketika lapar dan haus. Itulah sebabnya Allah SWT mewajibkan kita puasa. Salah satunya, agar enak makan dan minum. Tetaplah lapar, karena hanya orang lapar yang mengerti arti sebutir nasi. Tetaplah haus karena hanya orang haus yang mengerti arti setetes air. Itulah makna bersyukur sebagai salah satu tujuan puasa. (QS [2]: 185).

Meskipun lapar dan haus, makan dan minumlah seperlunya (kebutuhan) dan jangan berlebihan. (QS [2]: 60, [7]: 31, [20]: 81). Bagi yang tidak enak makan, tak perlu minum obat nafsu makan. Tapi cukup dengan berpuasa, niscaya baik akibatnya (QS [2]: 184).


Makna berikutnya, makan yang enak adalah ketika makan bersama orang-orang lapar, baik karena puasa maupun kemiskinan. Memberi hidangan berbuka akan dibalas dengan pahala orang yang berpuasa. Begitu juga memberi makan anak yatim dan dhuafa. (QS [76]: 8-10).

Jangan makan bersama orang yang kenyang. Sebab, kenikmatan akan hilang dan akhirnya makanan dibuang-buang. Itulah kekufuran (QS [2]: 152) dan perbuatan setan (QS [17]: 26).

Konsistensi Ibadah di Luar Ramadhan

Sahabat Muslim, 
Berbahagialah orang-orang yang telah menunaikan puasa Ramadhan dan memelihara hawa nafsunya dari peringai kehinaan dan keinginan buruk setan. Berbahagialah orang-orang yang memasukkan kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir-miskin di bulan Ramadhan.

Berbahagialah orang-orang yang memulai pengalaman baru dengan intensif beribadah di bulan suci. Berbahagialah orang-orang yang diringankan Allah SWT dalam berbuat kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang memperbanyak doa dan pengharapan kepada Allah SWT di bulan termulia.
 

Berbahagialah dan berbahagialah orang-orang yang puasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Hal tersebut tidak lain karena Malaikat Jibril AS mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan berbagai upaya kebaikan yang dilakukan di dalamnya dan Rasulullah SAW mengaminkannya.

Suatu hari, Rasulullah SAW menaiki tangga mimbar dan pada saat berada di atas tangga pertama, beliau berkata, “Amin”. Kemudian naik ke tangga kedua dan berkata, “Amin”. Lalu naik ke tangga ketiga dan berkata, “Amin”.


Ketika Rasulullah SAW turun  mimbar dan memiliki waktu cukup luang dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, kami mendengar sebuah perkataan pada hari ini yang belum kami dengar sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya, “Kalian semua mendengarkannya?” Para sahabat berkata, “Iya”.


Rasulullah SAW lalu bersabda, "Sungguh, Jibril AS menyampaikan kepadaku pada saat aku berada di tangga mimbar dengan perkataannya, ‘Rugilah orang-orang yang mendapati kedua atau salah satu orang tuanya berumur tua, namun  keduanya tidak menjadikannya masuk surga’. Aku (Rasulullah SAW) menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang jika namamu (Muhammad SAW) disebut, namun dia tidak mengucap shalawat kepadamu. Aku menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang mendapati Ramadhan namun tidak mendapat ampunan Allah. Aku menjawab, ‘Amin’." (HR. Tabrani).


Memasuki bulan Syawal, pertanyaan pertama bagi seorang Muslim adalah apakah semua  atau sebagian kegiatan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT di bulan Ramadhan akan ditradisikan dan dikonsistensikan di luar Ramadhan ataukah sama sekali tidak akan dilakukan? 


Dengan kata lain, apakah komunikasi intensif dengan Allah SWT dan hubungan baik sesama manusia di bulan Ramadhan akan memberi pengaruh seluruhnya, sebagiannya atau tidak memberi pengaruh sama sekali di luar Ramadhan?

Hal tersebut karena seorang mukmin sejati bukanlah "hamba" Ramadhan yang beribadah dan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah SWT hanya di bulan Ramadhan. Seorang mukmin sejati bukanlah seorang yang berbuat kebajikan semaksimal mungkin selama satu bulan dan meninggalkannya di sebelas bulan kemudian, karena Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu." (QS. Al-hijr: 99). 

 

Jika di bulan Ramadhan seorang mukmin sejati menyibukkan dirinya dengan kesulitan beribadah, taat dan istiqamah, maka di luar bulan Ramadhan ia juga akan menyibukkan diri dengan ibadah, taat, berbuat baik dan berakhlak mulia.

Orang-orang yang beribadah, taat dan menjalin silaturahim hanya  di bulan Ramadhan dan meninggalkannya pasca Ramadhan, apalagi kembali kepada kehidupan yang dibenci dan dimurkai Allah, maka orang-orang itu masuk dalam kategori munafik.


Hal tersebut karena dalam diri mereka telah hilang sifat-sifat pribadi Muslim yang baik yang berpihak pada kebenaran, kebaikan dan keadilan; mengingkari perintah Allah; memutus tali persaudaraan; beribadah karena mayoritas kaum Muslimin melakukan ibadah serupa dan membuat kerusakan di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutus apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).

Yang dituntut dari seorang Muslim adalah menjadikan hari-hari di luar Ramadhan seperti Ramadhan, sehingga konsisten dalam dalam ibadah, takwa, silaturrahim, berbuat baik dan istiqamah sebagaimana penggambaran yang diberikan oleh Allah SWT terhadap pribadi mukmin di dalam Surah Al-Mu'minun: 1-11. Wallahua'lam.

Memelihara Spirit Ramadhan

Sahabat Muslim,
Ada yang terasa hilang seusai Ramadhan meninggalkan kita bersama. Ada banyak kenangan indah selama Ramadhan dalam beribadah kepada Allah SWT begitu mudah kita jalankan, padahal di bulan-bulan lain begitu sulit dijalankan. Seperti bangun malam dan menyisihkan sebagian harta untuk diberikan pada orang lain sebagaimana dalam firman Allah;

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan/menginfakkan (hartanya), mereka tidak berlebihan dan tidak kikir, dan adalah di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS:25: 64 dan 67). 

Banyak pelajaran berharga dapat dipetik dari ibadah Ramadhan yang baru saja kita lalui bersama di mana kita berharap agar semangat beribadah selama Ramadhan terus bergelora sepanjang tahun hingga bertemu Ramadhan berikutnya.

Pelajaran seperti Semangat beribadah mahdah, baik yang wajib maupun sunah (shalat, puasa, zakat, infak, zikir, tilawah, dan sebagainya). Ibadah-ibadah ini dengan mudahnya kita bisa lakukan dengan kualitas dan kuantitas yang sangat baik. 

Apakah semangat ibadah ini hanya bisa dilakukan dengan mudahnya hanya pada bulan Ramadhan? Ternyata tidak, karena Allah menyiapkan waktu sepanjang masa ini untuk digunakan beribadah kepada-Nya, kapan pun dan di mana pun. Sangatlah salah orang yang beranggapan seperti itu. 

Semangat berdisiplin dalam menjalankan semua aktivitas. Ini terkait dengan berbagai aktivitas, baik yang terkait dengan ibadah mahdah mau pun ibadah ghaira mahdah (muamalah). Selama Ramadhan terbiasa berdisiplin dengan tak melanggar hal-hal yang membatalkan puasa. Nilai-nilai positif ini harus mampu diterapkan dalam kehidupan nyata selama setahun ke depan. 

Semangat berbagi harus mampu dilakukan tidak hanya selama Ramadhan, tetapi harus mampu diterapkan sepanjang tahun. Karena, berbagi harus menjadi bagian dari kehidupan kaum mukmin sepanjang tahun, bukan kebiasaan tahunan, terutama saat bulan Ramadhan saja. Kaum dhuafa selalu ada sepanjang tahun sehingga membutuhkan kepedulian dari para aghniya sepanjang waktu pula.

Semangat bersilaturahim yang selama Ramadhan dilakukan dengan intens melalui berbagai aktivitas, seperti buka bersama yang dilakukan oleh semua kalangan, baik oleh individu maupun organisasi. Juga aktivitas lain, seperti tarawih, tadarus, ataupun sahur bersama. Inilah spirit Ramadhan yang harus mampu kita aplikasikan sepanjang tahun. Wallahu a’lam.

Inilah Tujuan dan Keutamaan Puasa

Sahabat Muslim, 
Puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat mulia dan disyariatkan dalam Islam. Dan setiap ibadah itu, tentu saja mengandung hikmah dan tujuan. Shalat misalnya, tujuannya adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS al-Ankabuut ayat 45)
 
Demikian pula dengan puasa, tujuannya secara tegas dijelaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 183 adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah.
 
Berkaitan dengan hal ini, Rasul SAW menegaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan. Yakni, puasanya orang awam, puasa khawas, dan puasanya khawasul khawas. Puasanya orang awam (umum) adalah sekadar menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Sedangkan puasanya orang khawas adalah menahan makan dan minum serta semua perbuatan yang membatalkannya. Misalnya mulutnya ikut berpuasa dengan tidak berkata kotor, mencaci, mengumpat, atau mencela orang lain. Demikian juga dengan tangan dan kakinya, dipergunakan untuk perbuatan yang baik dan terpuji.  

Sementara telinganya hanya dipergunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Puasa khawas ini adalah puasanya orang yang alim dan fakih. 

Adapun puasanya khawasul khawas adalah tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya, termasuk menahan seluruh anggota pancaindera, tetapi hatinya juga ikut berpuasa. Menurut para ulama, inilah jenis puasanya para Nabi dan Rasul Allah. Puasa yang demikian itulah yang akan diberikan oleh Allah secara langsung. 

''Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.'' (Hadis Qudsi). 

Puasa yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar inilah yang mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, sebagaimana penjelasan QS Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas. 

Ahli Tafsir terkemuka, Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT.   

Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT. 

Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih saying dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesame yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada Allah SWT. 

Selain memiliki tujuan spiritual, juga mengandung manfaat dan hikmah bagi kehidupan. Misalnya, puasa itu menyehatkan baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar kesehatan yang meliputi empat dimensi, yaitu sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual.  

Ibadah puasa dapat memenuhi semua dimensi standar kesehatan yang ditetapkan oleh WHO itu. Bahkan, Dokter Alexis Carrel (1873-1944) yang pernah meraih hadiah Nobel dua kali menyatakan, Apabila pengabdian, shalat, puasa, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, itu artinya kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.
 
Ahmad Syarifuddin dalam ‘Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis’, mengungkapkan, rumusan kesehatan psikis yang ditetapkan WHO ini bisa dipenuhi dengan puasa yang dilakukan secara baik. Dalam beberapa hal puasa bahkan memiliki keunggulan dan nilai lebih. Secara kejiwaan, sikap takwa sebagai buah puasa, mendorong manusia mampu berkarakter ketuhanan (rabbani).

Mudahnya Bersabar dan Bersyukur

Sahabat Muslim,
Alquran mengisahkan, bagaimana kesabaran Nabi Ayub AS menerima cobaan. Ia merasakan tiga penderitaan sekaligus, yaitu rasa sakit, kesedihan, dan kesendirian. Allah SWT mengujinya dengan harta, keluarga, dan penyakit.


Hartanya musnah, ia ditinggal istri dan tak lagi memiliki teman, dan ia  menderita penyakit kulit akut. Ini seperti tertuang di surah al-Anbiya' ayat 83-84. Ia tetap bersabar. Buah kesabaran itu, ia akhirnya sembuh dan meraih kasih sayang Allah.

Bersabar tak hanya pada hal yang tidak disukai, tapi makna bersabar juga mencakup menahan diri dari nafsu ketika mendapat nikmat. Seperti kala mendapat promosi jabatan atau rezeki tak terduga.

Beberapa cara bisa ditempuh untuk mudah bersabar. Ini sejatinya adalah 'perangkat lunak' dalam diri kita sebagai anugerah dari Allah. Di antaranya ialah memperbanyak senyum. Jika sedang terbakar emosi, tersenyumlah. Senyum adalah obat hati yang mujarab.

Bisa juga dengan cara mengalihkan perhatian, yaitu melupakan masalah itu sendiri. Melupakan, bukan berarti lari dari masalah, tetapi menghindari keterpakuan terhadapnya. Coba juga cara ini, yaitu tidak menelan mentah-mentah perkataan orang lain dalam hati. Saringlah baik-baik.

Bagaimana dengan syukur? Hakikat syukur ialah mengungkapkan pujian kepada Sang Pemberi Kebahagiaan, yaitu Allah. Sebab, segala anugerah datang dari-Nya. Ini kemudian diejawantahkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Bersyukur artinya berbuat baik untuk diri sendiri dan orang lain.

Dengan syukur, Allah akan mempermudah jalan bagi kita untuk meraih impian dan kesuksesan. Tanpa disertai syukur, bisa saja Allah berkehendak mencabut nikmat itu seketika. Lalu, bagaimana membiasakan diri bersyukur?

Ini bisa dilakukan setiap hari menjelang malam, salah satunya. Pejamkan mata dan renungkan apa saja kenikmatan di hari itu yang telah Anda terima. Berterima kasihlah kepada Allah. Dengan begitu, kita akan menyadari bahwa nikmat Allah sangat besar.

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nahl [16]: 18).

Dan, syukur harus menjadi sarana taat kepada Allah. Ketika banyak rezeki, jangan hanya dibicarakan, berbuatlah sesuatu yang bermanfaat. Bantulah sesama yang membutuhkan. Tunaikan zakat dan berinfaklah. Karena, kesemuanya itu adalah bukti nyata rasa syukur.*

Menjaga Air untuk Kehidupan

Sahabat Muslim,
Air adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup di Bumi. Ketiadaan air bisa mengancam kelangsungan hidup dan ekosistem alam. Bagi manusia, selain sebagai konsumsi sehari-hari, benda cair itu juga bermanfaat untuk mandi dan mencuci.

Air juga menopang pembangunan infrastruktur, seperti rumah, masjid, perkantoran, dan lainnya. Ini merupakan makna bahwa segala apa yang ada di Bumi memang diperuntukkan bagi kepentingan manusia (QS Luqman [31]:20).

Kebutuhan air bersih dan terlindungi sehingga aman untuk minum di Indonesia masih belum maksimal. Sebuah data menyebut, capaian proporsi akses penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman) secara nasional sampai dengan 2011 masih sebesar 55,04 persen. Persentase ini masih belum optimal. Padahal, target MDGs untuk akses itu pada 2015  sebesar 68,87 persen.   

Di sisi lain, muncul paradoks. Air bersih justru dieksploitasi secara berlebihan. Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam makalahnya berjudul “Al-Biah fil Islam” mengatakan, pentingnya menjaga air sebagai sumber kehidupan telah ditegaskan dalam Alquran Surah al-Anbiyaa' ayat 30. “Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.”

Karena itu, air adalah kekayaan paling berharga dan warisan penting bagi generasi mendatang. Allah SWT memberikan nikmat air itu secara gratis. Sayangnya, nikmat tersebut tidak dipergunakan dan dimanfaatkan dengan baik dan proporsional oleh manusia.

Sering kali pendayagunaan air, kata Sekjen Ulama Internasional ini, tidak optimal dan bahkan di banyak kesempatan cenderung eksploitatif. Hal ini tidak bisa dibiarkan dan harus dicegah. Pasalnya, berbeda dengan kekayaan Bumi atau alam lainnya, air bersifat surut dan tidak bisa dibudidayakan.

Ia menegaskan, jika pemakaian yang tak tepat guna dan konsumsi berlebihan tetap terjadi maka tak mustahil krisis air pun akan terjadi. “Dan, Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di Bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS al-Mu'minuun [23]:18).

Syekh al-Qaradhawi mengajak umat Muslim tampil sebagai garda terdepan menjaga kelestarian air. Ajakan ini bukan tanpa alasan. Islam memiliki segudang tuntunan agar air tetap terjaga, bersih, bebas dari pencemaran, dan laik dikonsumsi.

Contoh perhatian Islam terhadap pelestarian air ialah larangan mencemari air sungai ataupun sumber air pegunungan, misalnya, dengan limbah manusia, seperti air seni dan tinja. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW melarang para sahabatnya buang air besar di sumber air.

Di riwayat lain dari Abu Dawud, larangan itu ditekankan pula atas kencing di air kolam ataupun air danau yang tidak mengalir. Sementara, lokasi itu dipergunakan sehari-hari oleh warga sekitar.

Menurut Syekh al-Qaradhawi, bentuk pencemaraan saat ini tak hanya terbatas pada kotoran manusia. Melainkan, limbah rumah tangga dan industri. Limbah-limbah tersebut justru lebih berbahaya.

Sampah kerap menggunung di kali-kali atau bantaran sungai. Dampaknya pun cukup jelas, paling  utama banjir. Soal bahaya limbah industri tak lagi diragukan. Kandungan bahan kimia bisa merusak ekosistem sungai. Akibatnya, air yang telah tercemar tak lagi laik dikonsumsi.

Satu lagi bentuk pelestarian terhadap air, katanya, ialah larangan untuk eksploitasi air yang berlebihan. Rasulullah pernah mengingatkan Saad bin Abi Waqash agar berwudhu dengan air secukupnya. Tidak usah berlebih sekalipun berada di lokasi dengan air yang melimpah.

Di riwayat lain bahkan Rasul mewanti-wanti munculnya fenomena terlalu berlebihan ketika bersuci (mempergunakan air). Karena itu, hendaknya pendayagunaan air harus dikedepankan untuk dikonsumsi untuk diminum. Peruntukkan yang lain tentu hendaknya didistribusikan secara proporsional. 

Teladan Nabi agar menjaga kelestarian air mengilhami para sahabatnya. Hal itu seperti yang tergambar dari sikap Bilal bin Rabah. Muazin pertama tersebut selalu mendambakan tinggal di Makkah dan sekitarnya dengan air melimpah, gunung menjulang tinggi, dan pepohonan tumbuh sumbur. Ia pun bersenandung, “Andai saja aku bisa bermalam di lembah dan sekitarku rerumputan hijau membentang dan seandainya aku menikmati gemericik air surga yang mengalir.

Mengikis Budaya Malas dengan Puasa Ramadhan

Sahabat Muslim,
Setiap tahun, selama sebulan seluruh umat Islam dipastikan sudah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Hampir seluruh umat Islam yang beriman menjalankan ibadah di bulan penuh berkah ini.
Namun, biasanya kita juga melihat ada yang seharusnya tak terjadi ketika Ramadhan tiba. Masjid-masjid penuh, bukan untuk beribadah membaca al-Quran, tetapi banyak umat Islam yang berleha-leha, tidur-tiduran menghabiskan waktu siang mereka.


Produktivitas kerja menurun. Nuansa bermalas-malasan kentara. Seakan-akan puasa menjadi legitimasi sebagian dari kita untuk bermalas-malasan dan mengurangi aktivitas sepanjang menjalankan ibadah puasa. Pengurangan aktivitas itu tentu saja berujung pada berkurangnya kreativitas. Jika demikian terjadi maka sungguh disayangkan.
           
Sepantasnya, Ramadhan menjadi momentum meningkatkan produktivitas dan berkarya, bukan bermalas-malasan.bila dihayati secara mendalam, Ramadhan seperti madrasatun mada al-hayah (madrasah sepanjang hayat) yang berkelanjutan mendidik dan mengedukasi generasi demi generasi setiap tahun. Ramadhan memuat makna-makna iman pada jiwa manusia, mengilhami mereka arti agama yang hanif, dan memantapkan kepribadian Muslim yang hakiki.
           
Kesempatan Ramadhan yang di dalamnya dijanjikan rahmat (karunia), maghfirah (ampunan), dan itqun min al-nar(pembebasan dari api neraka), sesungguhnya momentum ideal menemukan solusi banyak hal bagi umat. Puasa yang benar dapat membangunkan hati Mukmin yang ‘tertidur’ sehingga merasakan muraqabatullah (perasaan diawasi Allah).
           
Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, Ramadhan menjadi bulan jihad. Banyak peristiwa bersejarah yang mencatat bahwa Ramadhan menjadi bulan jihad umat Islam. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 hijriah, umat Islam mengalami perang Badar.

Perang ini terjadi di gurun pasir yang melibatkan 314 muslimin melawan 1000-an orang kafir dari Makkah. Peperangan ini adalah salah tonggak penting dalam sejarah Islam, karena sejak itulah umat Islam memulai era peperangan secara fisik, yang tentunya membutuhkan kemampuan yang lebih berat. Kalau mentalitas mereka seperti umat Islam zaman sekarang yang hobi tidur siang di bulan Ramadhan, tentunya sulit memenangkan peperangan.

Dan kota Mekkah dibebaskan juga pada bulan Ramadhan pada tahun ke-8 hijriah. Rasulullah SAW menyiapkan tidak kurang dari 10 ribu pasukan lengkap dengan senjata yang berjalan dari Madinah dan mengepung kota Makkah. Makkah menyerah tanpa syarat, namun semua diampuni dan dibebaskan.

Pada abad pertengahan atau tahun 15 Hijriah terjadi perang perang Qadisiyyah dimana orang-orang Majusi di Persia (saat ini wilayah Republik Islam Iran) ditumbangkan. Demikiran juga pertama kali Islam menaklukkan Spanyol di bawah pimpinan Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair, juga terjadi di bulan Ramadhan tahun 92 hijriyah. dan sekian banyak kerja keras yang lain, terjadi di bulan Ramadhan.

Ramadhan seharusnya menjadi sarana yang sangat efektif menghadirkan internalisasi nilai kebajikan guna menghadapi berbagai tantangan yang muncul di tengah masyarakat. Ramadhan satu bulan penuh, Muslim di-training oleh SuperTrainer-nya, yaitu Allah SWT, Dzat yang Maha segala-galanya. Tentu hasilnya akan juga luar biasa, bila itu dilakukan dengan penuh keseriusan dan mendamba ridha Allah.

 
Karena itu, sepantasnya Ramadhan dimanfaatkan secara optimal oleh semua unsur untuk meningkatkan kreatifitas dan karya. Sikap dan kepribadian positif, produktif, empatik, dan menghadirkan keputusan win-win solution adalah sosok pribadi yang lulus secara gemilang dari madrasah Ramadhan yang penuh solusi.

Perlu bagi umat untuk kembali merenungkan ungkapan terakhir dari surat al-Baqarah:183, bahwa yang mewajibkan puasa adalah la’allakum tattaqun dalam kata kerja mudhari yang hendaknya dimaknai agar dapat merealisasikan nilai-nilai muraqabatullah, ketaatan, dan kasih sayang secara terus-menerus, tidak hanya di saat bulan Ramadhan.*

Pemicu Tambah Gemuk selama Puasa

Sahabat Muslim,
Siapa yang selama berpuasa berat badannya tambah naik? 
Wah, kalau demikian harus tahu kemungkinan penyebabnya. Padahal seharusnya puasa membuat tubuh kita menjadi bertambah sehat, bukan menumpuk calon penyakit di dalam tubuh kita.

Menurut Pramono, Ahli Gizi di Banjarmasin ada beberapa alasan penyebab naiknya berat badan saat puasa, yakni:

1. Buka puasa dijadikan ajang balas dendam konsumsi makanan.
Orang biasanya 'murka' dan makan semua makanan yang manis, kolak dengan santan, Es campur, makanan berlemak dan gorengan, yang semuanya berkalori tinggi.

2. Berbuka puasa dengan karbohidrat sederhana 
Bahan makanan yang mengandung karbohidrat sederhana seperti gula pasir, sirup, gula merah dan lain lain, biasanya telah bersih dari serat akibat pengolahannya atau secara alami mempunyai kadar serat yang rendah. Berbagai makanan ringan dan cemilan, seperti biskuit, cokelat, permen, kue, mengandung karbohidrat sederhana. Tubuh menyerap karbohidrat sederhana dengan cepat, sehingga cepat terasa lapar meskipun sudah mengonsumsi makanan yang berkarbohidrat sederhana dalam jumlah besar.

3. Porsi makan lebih banyak 
Pada beberapa orang yang telah terbiasa makan dengan porsi besar, puasa justru menaikkan selera makan dan minum pada saat berbuka hingga sahur. Pada prinsipnya, orang menjadi gemuk karena makanan yang dikonsumsi lebih banyak daripada makanan yang diolah menjadi tenaga.

 4. Penurunan aktivitas fisik.
Saat puasa biasanya kita jadi pemalas terutama dalam aktifitas fisik. Jumlah tidur biasanya juga bertambah terutama di siang hari. Olah raga jadi malas bahkan pekerjaan fisik sebisa mungkin dihindari. Hal tersebut tentu akan menurunkan kebutuhan energi kita akibatnya meskipun kita makan lebih sedikit dari sewaktu tidak puasa tetapi berat badan bisa tambah naik apalagi konsumsi makannya tetap apalagi porsinya tambah banyak.

5. Penurunan metabolisme tubuh.
Inilah sebenarnya kunci yang penting alasan kenapa berat badan naik meski kita puasa. Saat puasa, metabolisme tubuh kita berubah. Kebutuhan energi untuk kebutuhan basal tubuh (BMR = Basal metabolisme rate) turun. Penggunaan energi jadi efektif akibatnya meski kita makan porsinya seperti sebelum puasa hasilnya berat badan tetap naik..

6. Penyerapan makanan yang efektif.
Ketika puasa hampir selama 14 jam kita tidak makan kondisi tersebut menyebakan tubuh menjadi sangat efektif dalam mengolah makanan dan dapat diserap sempurna ke dalam pembuluh darah kita sehingga pengolahan zat gizi sangat efektif termasuk untuk energi.

Enam Fakta Ilmiah Keajaiban Berpuasa

Sahabat Muslim,
Sebagai orang yang sehat jasamani dan rohani, menjalankan ibadah puasa tentulah wajib bagi kita. Namun selain itu kita perlu memahami manfaat dan keuntungan berpuasa bagi kesehatan. 

Berikut kami muat fakta-fakta ilmiah yang tersebar dalam berbagai buku dan penelitian medis yang menegaskan manfaat dan keuntungan ibadah puasa:'

1. Ibadah puasa sebagai sarana pencegahan dari sejumlah penyakit dan gangguan kesehatan yang timbul akibat kebiasaan makan berlebihan dan berkesinambungan sepanjang tahun tanpa pernah berhenti.

2. Merupakan sarana terapis untuk beberapa penyakit ganas dan kronis.

3. Mampu membangkitkan kinerja seluruh proses vital yang berlangsung di dalam tubuh, meningkatkan performanya. Puasa pun meremajakan komponen-komponen sel dasar dan energi yang tersimpan di dalamnya sehingga lebih kuat dan lebih mampu menghadapi hal-hal yang berat atau keadaan darurat di saat tubuh mengalami pasokan makanan yang sedikit atau tidak mendapatkan pasokan selama sekali dalam jangka waktu tertentu.

4. Menjadi pengontrol dan penekan gejolak seksual yang membara, terutama di kalangan remaja dan anak muda.

5. Tidak memberatkan atau menyulitkan tubuh. Gejala memberatkan yang dirasakan secara ilusif (termasuk lapar) sebenarnya hanyalah karena menyalahi kebiasaan dan jam makan.

6. Ibadah puasa merangkum dua proses anabolisme dan kata­olisme sekaligus dalam satu waktu, sehingga ia bisa memenuhi pasokan glukosa sebagai satu-satunya bahan bakar untuk sel otak dan sebagai bahan bakar utama seluruh jaringan lainnnya.

Sekarang ini, hakikat puasa semakin terkuak sebagai sebuah mukjizat ilmiah dan kebutuhan humanis. Fakta kebe­naran ini akan terus tersungkap lebih banyak lagi seiring de­ngan meningkatnya pengetahuan manusia mengenai hukum-hukum penciptaan.

Nilai Segelas Air

Sahabat Muslim, 
Suatu ketika, Khalifah Harun Al-Rasyid sedang merasakan kegelisahan. Untuk menenangkan diri dari beban pikirannya, ia mengundang seorang ulama terkemuka pada masanya, Abu As-Sammak. “Nasihatilah aku!” pinta Khalifah.

Di saat yang sama, pelayan membawa segelas air untuk Khalifah. Sebelum minum, Abu As-Sammak berkata, “Tunggu sebentar. Seandainya dalam keadaan sangat haus, sedangkan segelas air ini tidak kau peroleh, berapakah harga yang kau siap bayar? Jawablah dengan jujur!”

“Setengah dari kekayaanku,” jawab Khalifah

.
Sang ulama pun mempersilakan khalifah minum. Selesai minum, Abu As-Sammak bertanya lagi, “Seandainya air tadi mendesak untuk dikeluarkan, tapi kau tak mampu mengeluarkannya, berapakah yang akan engkau bayarkan agar ia keluar?”


Khalifah menjawab, “Setengah dari kekayaanku.”


“Kalau demikian, sadarilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan yang ada di sisimu, nilainya hanya segelas air. Tidak wajar diperebutkan dan dipertahankan tanpa hak. Ketahuilah, betapa banyak nikmat Allah selain segelas air itu yang telah engkau nikmati sehingga tidak wajar jika engkau tidak mensyukurinya,” nasihat Abu As-Sammak kepada Harun Al-Rasyid.


Dialog singkat di atas memberikan pelajaran berharga. Pertama, hendaklah para penguasa negeri (umara) dalam seluruh tingkat untuk senantiasa meminta dan mendengar nasihat para ulama. Selagi para umara masih mendengar nasihat ulama, negeri ini akan selamat dari murka Allah.

Kedua, nilai segelas air. Air sangat berharga dalam kehidupan manusia. Manusia akan mati jika kekurangan cairan (dehidrasi). Air adalah awal dan sumber kehidupan alam semesta. Allah turunkan air yang tidak asin dengan kadar tertentu agar mendatangkan kebaikan kepada manusia dan alam semesta. (QS Al-Waqi’ah [56]: 68-70).


Bumi yang kering akan kembali subur, binatang yang kehausan dan kepanasan akan tersenyum dengan air, dan tanam-tanaman akan tumbuh dengan subur serta rezeki akan melimpah tumbuh dari perut bumi. (QS [2]: 22, [7]: 57,dan [14]: 32).


Kapan makan dan minum yang paling nikmat? Yakni, ketika lapar dan haus. Itulah sebabnya Allah SWT mewajibkan kita puasa. Salah satunya, agar enak makan dan minum. Tetaplah lapar, karena hanya orang lapar yang mengerti arti sebutir nasi. Tetaplah haus karena hanya orang haus yang mengerti arti setetes air. Itulah makna bersyukur sebagai salah satu tujuan puasa. (QS [2]: 185).

Meskipun lapar dan haus, makan dan minumlah seperlunya (kebutuhan) dan jangan berlebihan. (QS [2]: 60, [7]: 31, [20]: 81). Bagi yang tidak enak makan, tak perlu minum obat nafsu makan. Tapi cukup dengan berpuasa, niscaya baik akibatnya (QS [2]: 184).


Makna berikutnya, makan yang enak adalah ketika makan bersama orang-orang lapar, baik karena puasa maupun kemiskinan. Memberi hidangan berbuka akan dibalas dengan pahala orang yang berpuasa. Begitu juga memberi makan anak yatim dan dhuafa. (QS [76]: 8-10).

Jangan makan bersama orang yang kenyang. Sebab, kenikmatan akan hilang dan akhirnya makanan dibuang-buang. Itulah kekufuran (QS [2]: 152) dan perbuatan setan (QS [17]: 26).

Konsistensi Ibadah di Luar Ramadhan

Sahabat Muslim, 
Berbahagialah orang-orang yang telah menunaikan puasa Ramadhan dan memelihara hawa nafsunya dari peringai kehinaan dan keinginan buruk setan. Berbahagialah orang-orang yang memasukkan kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir-miskin di bulan Ramadhan.

Berbahagialah orang-orang yang memulai pengalaman baru dengan intensif beribadah di bulan suci. Berbahagialah orang-orang yang diringankan Allah SWT dalam berbuat kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang memperbanyak doa dan pengharapan kepada Allah SWT di bulan termulia.
 

Berbahagialah dan berbahagialah orang-orang yang puasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Hal tersebut tidak lain karena Malaikat Jibril AS mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan berbagai upaya kebaikan yang dilakukan di dalamnya dan Rasulullah SAW mengaminkannya.

Suatu hari, Rasulullah SAW menaiki tangga mimbar dan pada saat berada di atas tangga pertama, beliau berkata, “Amin”. Kemudian naik ke tangga kedua dan berkata, “Amin”. Lalu naik ke tangga ketiga dan berkata, “Amin”.


Ketika Rasulullah SAW turun  mimbar dan memiliki waktu cukup luang dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, kami mendengar sebuah perkataan pada hari ini yang belum kami dengar sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya, “Kalian semua mendengarkannya?” Para sahabat berkata, “Iya”.


Rasulullah SAW lalu bersabda, "Sungguh, Jibril AS menyampaikan kepadaku pada saat aku berada di tangga mimbar dengan perkataannya, ‘Rugilah orang-orang yang mendapati kedua atau salah satu orang tuanya berumur tua, namun  keduanya tidak menjadikannya masuk surga’. Aku (Rasulullah SAW) menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang jika namamu (Muhammad SAW) disebut, namun dia tidak mengucap shalawat kepadamu. Aku menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang mendapati Ramadhan namun tidak mendapat ampunan Allah. Aku menjawab, ‘Amin’." (HR. Tabrani).


Memasuki bulan Syawal, pertanyaan pertama bagi seorang Muslim adalah apakah semua  atau sebagian kegiatan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT di bulan Ramadhan akan ditradisikan dan dikonsistensikan di luar Ramadhan ataukah sama sekali tidak akan dilakukan? Dengan kata lain, apakah komunikasi intensif dengan Allah SWT dan hubungan baik sesama manusia di bulan Ramadhan akan memberi pengaruh seluruhnya, sebagiannya atau tidak memberi pengaruh sama sekali di luar Ramadhan?


Hal tersebut karena seorang mukmin sejati bukanlah "hamba" Ramadhan yang beribadah dan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah SWT hanya di bulan Ramadhan. Seorang mukmin sejati bukanlah seorang yang berbuat kebajikan semaksimal mungkin selama satu bulan dan meninggalkannya di sebelas bulan kemudian, karena Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu." (QS. Al-hijr: 99). 

Jika di bulan Ramadhan seorang mukmin sejati menyibukkan dirinya dengan kesulitan beribadah, taat dan istiqamah, maka di luar bulan Ramadhan ia juga akan menyibukkan diri dengan ibadah, taat, berbuat baik dan berakhlak mulia.


Orang-orang yang beribadah, taat dan menjalin silaturahim hanya  di bulan Ramadhan dan meninggalkannya pasca Ramadhan, apalagi kembali kepada kehidupan yang dibenci dan dimurkai Allah, maka orang-orang itu masuk dalam kategori munafik.


Hal tersebut karena dalam diri mereka telah hilang sifat-sifat pribadi Muslim yang baik yang berpihak pada kebenaran, kebaikan dan keadilan; mengingkari perintah Allah; memutus tali persaudaraan; beribadah karena mayoritas kaum Muslimin melakukan ibadah serupa dan membuat kerusakan di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutus apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).

Yang dituntut dari seorang Muslim adalah menjadikan hari-hari di luar Ramadhan seperti Ramadhan, sehingga konsisten dalam dalam ibadah, takwa, silaturrahim, berbuat baik dan istiqamah sebagaimana penggambaran yang diberikan oleh Allah SWT terhadap pribadi mukmin di dalam Surah Al-Mu'minun: 1-11. Wallahua'lam.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...